Benarkah masih ada perselisihan pendapat ulama mengenai puasa sembilan hari pada awal bulan Dzulhijjah?
Saya jawab singkat: “benar-benar ada”.
Memang ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa puasa tanggal satu sampai dengan tanggal sembilan Dzulhijjah dianjurkan, dan tidak terdapat perselisihan pada mereka. Mereka menyatakan bahwa banyak sekali dalil yang menunjukan hal itu, dan dalil-dalil tersebut sebagian dishahihkan oleh para ulama, dan sebagian lagi menyatakan bahwa dalil-dali (hadits-hadits) itu masih diperselisihan keshahihannya oleh para ulama.
Di antara hadits tersebut ialah:
Hadits Pertama:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
Sebagai catatan: “Hadits ini sama sekali tidak menyebutkan ‘puasa’”.
Hadits Kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ وَلَا أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَيْرٍ يَعْمَلُهُ فِي الْعَشْرِ الْأَضْحَى "، قِيلَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟، قَالَ: " وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
Hadits ini juga tidak menyebutkan tentang ‘puasa’.
Kedua hadits di atas telah dishahihkan oleh para ulama.
Pendalilan dari dua hadits di atas, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasalam menjelaskan bahwa seutama-utama amalan shalih di sisi Allah ta'ala adalah amalan-amalan shalih (yang dikerjakan) pada sepuluh pertama (1-9) bulan Dzulhijjah, dan amalan shalih di sini bersifat umum, mencakup: “puasa”. Oleh sebab itu maka puasa di waktu itu menjadi disunnahkan seperti amalan-amalan shalih lainnya. Jadi pendapat tentang dianjurkannya puasa itu sekadar ‘asumsi’, karena tidak ada kalimat -- yang terdapat dalam hadits tersebut -- yang secata eksplisit menyatakan tentang anjuran untuk berpuasa.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Hadits Ibnu Abbas menunjukan bahwa dilipatgandakannya pahala semua amal shalih di sepuluh pertama (Dzulhijjah) tanpa mengecualikan sesuatu pun darinya". Oleh karena itu, difahami oleh sebagain ulama, bahwa puasa termasuk amalan yang dimaksud oleh hadits itu.”
Hadits Ketiga:
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Hadits yang lain:
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ الْخُزَاعِيِّ عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ.
Syaikh al-Albani menyatakan, bahwa hadits ini “dha’if”; Sementara itu, Syu’aib al-Arnauth mengomentarinya sebagai hadits dha’if, kecuali pada pernyataan beliau [Rasulullâh shallallâllahu ‘alaihi wa sallam] dua rakaat sebelum subuh, penyataan ini (dua rakaat sebelum subuh:) “shahih”.
Hadits ini menetapkan secara jelas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada sembilan hari di awal bulan Dzulhijah, ini sebagai dalil bahwa puasa tersebut sunnah. Namun para ulama berselisih pendapat tentang keshahihan hadits ini, sebagian mereka menshahihkankannya dan sebagian lagi medha’if, seperti Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits yang diriwayatkan oleh sebagian isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi beliau mendhaifkan hadits yang berasal dari Hafshah.
Sementara itu, ada hadits yang berasal dari ‘Aisyah radhiyallâhu anhâ,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: “ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطٌّ
Kata sebagain ulama, hadits yang berasal dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ inilah yang harus dirujuk. Yang mengecualikan ‘puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah’ sebagai sesuatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga -- bisa difahami -- bahwa puasa sembilan hari itu ‘tidak disyari’atkan’.
Wallâhu ‘alamu bish-shawâb.
Sumber : Muhsin Hariyanto